Sebuah negara kepulauan indah di Pasifik ini berada di ambang sejarah sebagai bangsa pertama di dunia yang harus merencanakan migrasi massal warganya. Penyebab utamanya? Perubahan iklim
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Penduduk Negara Tuvalu (https://unsplash.com/@winstonchen)

Bayangin sejenak, gimana rasanya kalau kamu harus meninggalkan rumah, kota, bahkan negaramu sendiri untuk selamanya? Bukan karena perang atau bencana alam tiba-tiba, tapi karena tempat tinggalmu pelan-pelan ditelan lautan. Ini bukan adegan film fiksi ilmiah, tapi kenyataan pahit yang sedang dihadapi oleh sekitar 11.000 penduduk Tuvalu. Sebuah negara kepulauan indah di Pasifik ini berada di ambang sejarah sebagai bangsa pertama di dunia yang harus merencanakan migrasi massal warganya. Penyebab utamanya? Perubahan iklim yang makin menjadi-jadi. Kisah mereka adalah cerminan dari dampak perubahan iklim, sebuah cerita yang seharusnya membuat kita semua menoleh dan peduli.

Mengenal Tuvalu, Surga Pasifik yang Perlahan Menghilang

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang nasib mereka, mari kenalan dulu dengan Tuvalu. Negara ini adalah gugusan sembilan atol (pulau karang berbentuk cincin) kecil yang tersebar di Samudra Pasifik, sebuah surga tropis dengan laguna biru jernih dan pantai pasir putih. Namun, di balik keindahannya, Tuvalu menyimpan kerapuhan yang luar biasa. Titik tertinggi di negara ini hanya sekitar 4,5 meter di atas permukaan laut, dengan ketinggian rata-rata tak lebih dari 2 meter. Kondisi geografis inilah yang membuatnya sangat rentan terhadap dampak pemanasan global, terutama kenaikan permukaan air laut.

Data menunjukkan bahwa permukaan air laut di sekitar Tuvalu naik sekitar 5 milimeter setiap tahunnya, angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata global. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Global and Planetary Change oleh Church et al. (2006) telah mengonfirmasi tren kenaikan air laut yang signifikan di pulau-pulau Pasifik, termasuk Tuvalu. Para ilmuwan memprediksi bahwa pada tahun 2050, sebagian besar infrastruktur penting dan wilayah pemukiman di Tuvalu akan berada di bawah garis pasang air laut. Artinya, dalam beberapa dekade ke depan, negara ini bisa jadi tidak dapat dihuni lagi.

Bukan Sekadar Banjir

Bicara soal dampak perubahan iklim pada Tuvalu bukan cuma soal banjir rob atau abrasi pantai. Dampaknya sudah meresap ke sendi-sendi kehidupan sehari-hari warganya. Salah satu masalah paling serius adalah intrusi air laut. Ketika permukaan laut naik, air asin merembes masuk ke dalam lapisan tanah dan mencemari akuifer, yaitu sumber air tawar bawah tanah. Akibatnya, sumur-sumur warga menjadi payau dan tidak layak minum. Air bersih menjadi komoditas langka dan mahal.

Selain krisis air bersih, intrusi air laut juga menghancurkan sektor pertanian. Tanaman pangan andalan masyarakat Tuvalu seperti talas (taro) dan pulaka, yang ditanam di lubang-lubang galian tradisional, kini sulit tumbuh karena tanahnya terkontaminasi garam. Hal ini mengancam ketahanan pangan dan memaksa mereka semakin bergantung pada makanan impor yang harganya tidak murah. Gelombang badai yang semakin sering dan kuat juga dengan mudah menyapu daratan rendah mereka, merusak rumah, dan menghancurkan sedikit lahan yang tersisa. Ini adalah pertarungan sehari-hari untuk bertahan hidup di tanah kelahiran yang semakin tak ramah.

Falepili Union

Melihat kondisi yang semakin genting, sebuah langkah bersejarah pun diambil. Pada akhir tahun 2023, Tuvalu dan Australia menandatangani sebuah perjanjian bernama “Falepili Union”. Perjanjian ini sering disebut sebagai skema migrasi iklim pertama di dunia yang secara eksplisit mengikat jalur perpindahan penduduk dengan dampak perubahan iklim. Intinya, Australia setuju untuk memberikan visa khusus bagi warga Tuvalu, memungkinkan mereka untuk tinggal, bekerja, dan belajar di Australia dengan akses penuh ke layanan sosial dan kesehatan.

Program ini dimulai secara bertahap, dengan kuota awal sebanyak 280 orang per tahun. Meskipun terkesan sedikit, antusiasme warga Tuvalu sangat tinggi. Pada pendaftaran gelombang pertama saja, lebih dari 5.000 orang mendaftar, menunjukkan betapa besarnya keinginan mereka untuk mencari masa depan yang lebih pasti. Di satu sisi, perjanjian ini adalah “sekoci penyelamat” yang menawarkan jalan keluar yang terhormat. Namun di sisi lain, ini adalah pengakuan pahit bahwa tanah air mereka mungkin tidak bisa diselamatkan. Ini adalah awal dari tercerabutnya sebuah bangsa dari akarnya, sebuah dilema yang menyayat hati antara bertahan atau pergi.

Kenapa Kisah Tuvalu Penting Bagi Kita Semua?

Mungkin kamu berpikir, “Tuvalu kan jauh, kenapa kita harus peduli?” Jawabannya sederhana: Tuvalu adalah “burung kenari di tambang batu bara” bagi planet kita. Apa yang terjadi pada mereka hari ini adalah peringatan dini tentang apa yang bisa menimpa wilayah pesisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, di masa depan. Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia juga memiliki jutaan orang yang tinggal di wilayah dataran rendah yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Jakarta, Semarang, dan Demak sudah merasakan dampaknya.

Kisah Negara Tuvalu mengajarkan kita bahwa pemanasan global bukanlah isu abstrak atau konspirasi. Dampaknya nyata, sedang terjadi, dan korbannya adalah mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap emisi karbon global. Perjuangan warga Tuvalu untuk mendapatkan pengakuan dan solusi adalah perjuangan kita semua untuk masa depan bumi yang lebih adil dan layak huni. Kisah mereka memaksa kita untuk merenungkan kembali gaya hidup kita dan mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan iklim yang lebih serius. Karena jika kita membiarkan satu negara tenggelam, siapa yang akan menjadi korban berikutnya?


Suka dengan tulisan di WartaCendekia? Kamu bisa dukung kami via SAWERIA. Dukunganmu akan jadi “bahan bakar” untuk server, riset, dan ide-ide baru. Visi kami sederhana: bikin sains, sejarah, dan humaniora terasa dekat dan seru untuk semua. Terima kasih, semoga kebaikanmu kembali berlipat.


Daftar Pustaka

Church, J. A., Hunter, J. R., McInnes, K. L., & White, N. J. (2006). Sea-level rise at tropical Pacific and Indian Ocean islands. Global and Planetary Change, 53(3), 155–168.

Farbotko, C., & McMichael, C. (Eds.). (2019). Displacement, immobility and climate change. Routledge.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Demo Anarkis dan Politik Kuasa Media
31Aug

Demo Anarkis dan Politik Kuasa Media

Kok bisa, demo yang awalnya damai buat menyuarakan pendapat, malah berujung anarkis dan merusak fasilitas umum? Luapan amarah, atau ada faktor lain?

Penyebab Demonstrasi Rusuh: Amarah, Provokasi, atau Propaganda?
30Aug

Penyebab Demonstrasi Rusuh: Amarah, Provokasi, atau Propaganda?

Kok bisa demo yang awalnya damai jadi serusak ini? Apakah ini amarah massa? Atau ada “sutradara” tak terlihat? Yuk, kita bedah penyebab demonstrasi rusuh ini.

Brutalitas Polisi: Kenapa Masih Terjadi?
30Aug

Brutalitas Polisi: Kenapa Masih Terjadi?

Kenapa brutalitas polisi seolah menjadi siklus yang sulit diputus di negeri ini? Apakah ini hanya soal “oknum” nakal, atau ada sesuatu yang lebih dalam?

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *