
Pernah nggak sih kamu pergi ke supermarket atau pasar, terus lihat bayam atau kangkung yang daunnya lebar-lebar dan kelihatan subur banget? Pasti langsung mikir, “Wah, ini sayuran sehat, nih!” Tapi, tunggu dulu. Apa yang terlihat besar dan subur di luar belum tentu “berisi” di dalam. Ibaratnya, kita mungkin cuma dapat badannya yang bongsor, tapi jiwa alias nutrisinya lagi kosong. Inilah sebuah ironi senyap yang sedang terjadi di piring makan kita, sebuah konsekuensi tersembunyi dari perubahan iklim yang sering kita bicarakan. Sebuah penelitian baru yang menarik mengupas tuntas bagaimana kenaikan CO2 di atmosfer ternyata nggak cuma bikin bumi makin panas, tapi juga secara perlahan “merampok” nutrisi dari tanaman yang jadi sumber pangan kita.
Daftar Isi
Dilema Tersembunyi di Kenaikan CO2
Mungkin terdengar aneh, ya? Bukannya tanaman butuh CO2 untuk fotosintesis, proses masak-memasak mereka? Betul sekali. Dengan melimpahnya CO2 di udara, tanaman memang jadi bisa tumbuh lebih cepat dan lebih besar. Fenomena ini sering disebut sebagai “efek pemupukan CO2“. Tanaman jadi kayak lagi party pora, berpesta dengan Kenaikan CO2 yang melimpah. Hasilnya? Ukuran panen bisa jadi lebih banyak, daunnya lebih lebat, buahnya lebih montok. Secara kuantitas, kelihatannya kita untung besar.
Nah, di sinilah letak dilemanya. Menurut Jiata Uzwah Ekele, seorang peneliti dari Liverpool John Moores University, Inggris, pertumbuhan yang super cepat ini ada harganya. Ketika tanaman “dipaksa” tumbuh lebih bongsor dalam waktu singkat, mereka cenderung fokus pada pembentukan karbohidrat (gula dan pati) yang bikin badannya besar, tapi jadi “lupa” menyerap mineral-mineral penting dari tanah atau memproduksi senyawa-senyawa bermanfaat lainnya seperti protein dan antioksidan. Jadi, meski tanaman kelihatan lebih subur, kualitas nutrisinya justru menurun drastis. Ini bukan sekadar teori, penelitian Ekele yang mensimulasikan kondisi iklim masa depan di Inggris menunjukkan hasil yang nyata pada sayuran hijau seperti kale dan bayam.
Dampak Kenaikan CO2 pada Nutrisi Tanaman
Bayangkan sayuran favoritmu berubah jadi semacam “junk food“. Kalorinya mungkin ada, bahkan bisa lebih tinggi karena kandungan gulanya meningkat, tapi vitamin dan mineral esensialnya malah anjlok. Inilah gambaran yang disajikan oleh temuan-temuan riset terkini. Kenaikan CO2 di atmosfer dapat mengencerkan konsentrasi berbagai nutrisi vital dalam tanaman. Penelitian menunjukkan adanya penurunan signifikan pada mineral-mineral krusial seperti kalsium, kalium, seng, dan zat besi.
Tidak hanya itu, kadar protein dalam biji-bijian seperti gandum dan beras juga dilaporkan menurun. Sebuah studi komprehensif oleh Myers et al. (2014) yang dipublikasikan di jurnal bergengsi Nature, memperingatkan bahwa jutaan orang di dunia bisa berisiko mengalami defisiensi nutrisi akibat fenomena ini. Jadi, saat kita makan nasi atau roti di masa depan, kita mungkin mendapatkan porsi yang sama, tapi dengan kandungan protein dan mineral yang lebih sedikit. Peningkatan kadar gula pada buah dan sayur juga menjadi sorotan, yang berpotensi meningkatkan risiko obesitas dan diabetes tipe 2, terutama bagi populasi yang sudah rentan.
Efek Domino Kenaikan CO2 pada Kesehatan Kita
Masalah tanaman yang kehilangan nutrisinya ini bukanlah isu pertanian semata, ini adalah krisis kesehatan publik yang membayangi kita. Efek dominonya sangat jelas: jika makanan kita kurang bergizi, maka kesehatan kita juga taruhannya. Kekurangan protein, vitamin, dan mineral dapat melemahkan sistem imun tubuh, membuat kita lebih rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi. Ini menjadi ancaman serius, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di mana akses terhadap makanan bergizi sudah menjadi tantangan.
Lebih lanjut, pergeseran keseimbangan nutrisi—di mana makanan menjadi lebih tinggi kalori (dari gula) tetapi lebih miskin nutrisi—adalah resep jitu untuk masalah kesehatan non-komunikasi seperti obesitas dan diabetes. Seperti yang ditekankan oleh Ekele, ini bukan lagi cuma soal bagaimana kita menanam pangan, tapi tentang apa isi dari pangan tersebut dan bagaimana pangan itu mendukung kesehatan jangka panjang kita. Makanan bukan sekadar pengisi perut, ia adalah fondasi bagi perkembangan manusia dan adaptasi kita terhadap perubahan iklim itu sendiri.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Melihat fakta ini mungkin bikin kita sedikit pesimis, tapi sebenarnya ini adalah panggilan untuk bertindak. Kabar baiknya, para ilmuwan seperti Jiata Uzwah Ekele tidak berhenti pada penemuan masalah. Riset ini membuka jalan bagi solusi-solusi inovatif. Salah satu temuan menarik lainnya adalah bahwa tidak semua tanaman merespons stres iklim ini dengan cara yang sama. Ada varietas-varietas tertentu yang ternyata lebih tangguh dan mampu mempertahankan kandungan nutrisinya dalam kondisi Kenaikan CO2 tinggi.
Ke depannya, para ilmuwan bisa fokus pada pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas-varietas unggul yang tidak hanya tahan banting terhadap perubahan iklim, tapi juga tetap padat nutrisi. Di sisi lain, sebagai konsumen, kita bisa lebih sadar dan mulai mendukung praktik pertanian yang berkelanjutan dan berfokus pada kualitas, bukan hanya kuantitas. Menghubungkan ilmu tanaman dengan kebijakan gizi dan kesehatan menjadi sangat krusial. Karena pada akhirnya, membangun sistem pangan yang tangguh berarti memastikan bahwa makanan yang kita hasilkan tidak hanya cukup, tetapi juga menyehatkan dan bergizi.
Daftar Pustaka
- Ainsworth, E. A., & Long, S. P. (2005). What have we learned from 15 years of free-air CO2 enrichment (FACE)? A meta-analytic review of the responses of photosynthesis, canopy properties and plant production to rising CO2. New Phytologist, 165(2), 351–372. https://doi.org/10.1111/j.1469-8137.2004.01224.x
- Loladze, I. (2014). Hidden shift of the ionome in plants exposed to elevated CO2 depletes minerals at the base of human nutrition. eLife, 3, e02245. https://doi.org/10.7554/eLife.02245
- Myers, S. S., Zanobetti, A., Kloog, I., Huybers, P., Leakey, A. D. B., Bloom, A. J., Carlisle, E., Dietterich, L. H., Fitzgerald, G., Hasegawa, T., Holbrook, N. M., Nelson, R. L., Ottman, M. J., Raboy, V., Sakai, H., Sartor, K. A., Schwartz, J., Seneweera, S., Tausz, M., & Usui, Y. (2014). Increasing CO2 threatens human nutrition. Nature, 510(7503), 139–142. https://doi.org/10.1038/nature13179
- Taub, D. R., Miller, B., & Allen, H. (2008). Effects of elevated CO2 on the protein concentration of food crops: A meta-analysis. Global Change Biology, 14(3), 565–575. https://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2007.01511.x
- Zhu, C., Kobayashi, K., Loladze, I., Zhu, J., Jiang, Q., Xu, X., Liu, G., Seneweera, S., Ebi, K. L., Drewnowski, A., Fukagawa, N. K., & Ziska, L. H. (2018). Carbon dioxide (CO2) levels this century will alter the protein, micronutrients, and vitamin content of rice grains with potential health consequences for the poorest rice-dependent countries. Science Advances, 4(5), eaaq1012. https://doi.org/10.1126/sciadv.aaq1012
Suka dengan tulisan di WartaCendekia? Kamu bisa dukung kami via SAWERIA. Dukunganmu akan jadi “bahan bakar” untuk server, riset, dan ide-ide baru. Visi kami sederhana: bikin ilmu pengetahuan terasa dekat dan seru untuk semua. Terima kasih, semoga kebaikanmu kembali berlipat.
Tanaman Makin Gendut, Nutrisi Makin Kering: Dampak Kenaikan CO2 pada Makanan Kita!
Inilah sebuah ironi senyap yang sedang terjadi di piring makan kita, sebuah konsekuensi tersembunyi dari kenaikan CO2 yang sering kita bicarakan
Kunci Stomata: Terungkapnya Protein Rahasia Penjaga Air Tanaman
Facebook X LinkedIn WhatsApp Threads Pernahkah kamu berpikir bagaimana tanaman bisa bertahan hidup di bawah terik matahari yang menyengat? Saat kita bisa dengan mudah mencari tempat berteduh atau menenggak sebotol air dingin, tanaman harus berjuang mati-matian di tempatnya berpijak. Mereka tidak bisa lari dari kekeringan. Namun, alam telah membekali mereka dengan mekanisme pertahanan diri yang […]
Kode Tersembunyi DNA Terungkap: Ternyata ‘DNA Sampah’ Punya Peran Penting!
kisah menarik tentang bagaimana para ilmuwan mulai membongkar salah satu misteri terbesar dalam genetika kita, mengubah pandangan kita dari “DNA sampah” menjadi sebuah harta karun informasi.