Cerita Fishman dalam One Piece mengungkap realitas diskriminasi dan rasialisme sebagai kritik sosial yang relevan bagi generasi muda
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Ilustrasi Diskriminasi pada Fish Man

Bayangkan sebuah dunia di mana perbedaan fisik menjadi alasan seseorang diperlakukan tidak adil. Dalam anime dan manga One Piece, cerita tentang manusia ikan atau Fishman menawarkan cermin tajam tentang diskriminasi dan rasialisme. Melalui kisah mereka, Eiichiro Oda mengajak kita untuk merenung, apakah dunia kita benar-benar sudah bebas dari prasangka dan ketidakadilan rasial? Atau jangan-jangan, seperti dunia One Piece, kita masih terjebak dalam siklus diskriminasi yang sama?

Diskriminasi dan Rasialisme di Dunia Fishman

Dunia One Piece bukan sekadar petualangan mencari harta karun. Di balik cerita-cerita epik tentang bajak laut dan lautan lepas, tersimpan kritik sosial yang sangat relevan dengan realitas manusia, yaitu diskriminasi dan rasialisme. Fishman, atau manusia ikan, sering kali digambarkan sebagai makhluk yang mengalami penindasan sistemik dari manusia biasa. Mereka dianggap “berbeda”, bahkan “lebih rendah”, hanya karena karakteristik fisik dan asal-usul mereka.

Diskriminasi yang dialami Fishman tidak hanya sebatas perlakuan sehari-hari, tapi juga telah mengakar dalam struktur sosial dan politik dunia One Piece. Misalnya, mereka dijauhkan dari wilayah manusia, terisolir di Fishman Island, dan menjadi korban perbudakan. Fenomena ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di dunia nyata, di mana minoritas rasial kerap mendapat perlakuan tidak adil baik secara hukum maupun sosial (Bonilla-Silva, 2014).

Sejarah Fishman dalam One Piece: Lukisan tentang Sistem Ketidakadilan

Fishman Island, sebagai rumah bagi manusia ikan, sebenarnya adalah simbol segregasi dan marginalisasi. Di arc Fishman Island, Oda memperlihatkan sejarah panjang penindasan yang dialami oleh Fishman dari manusia. Salah satu peristiwa paling memilukan adalah ketika Fisher Tiger, pemimpin revolusioner Fishman, ditangkap dan disiksa setelah membebaskan budak-budak Fishman dari Mariejois, pusat kekuasaan manusia.

Dalam konteks ini, diskriminasi yang dialami Fishman tidak hanya berbentuk ujaran kebencian atau stereotype negatif, tetapi juga kekerasan terstruktur, penahanan hak-hak dasar, dan perampasan kebebasan. Menurut sosiolog Howard Winant (2001), rasialisme tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial, di mana institusi dan norma-norma yang ada memperkuat ketidakadilan tersebut secara turun-temurun.

Fishman Sebagai Kritik Sosial atas Rasialisme di Dunia Nyata

Cerita Fishman dalam One Piece jelas tidak hadir di ruang hampa. Oda, lewat narasinya, secara sadar atau tidak telah membangun analogi dengan berbagai kasus diskriminasi rasial yang terjadi di dunia nyata. Misalnya, sistem perbudakan dan marginalisasi Fishman menggambarkan realitas sejarah seperti perbudakan kulit hitam di Amerika atau Apartheid di Afrika Selatan (Fredrickson, 2002).

Sosiologi populer menyoroti bahwa narasi fiksi seperti One Piece bisa menjadi alat yang efektif untuk membangun empati dan kesadaran sosial di kalangan muda. Penonton dan pembaca diajak untuk memahami betapa merusaknya prasangka dan diskriminasi rasial, bahkan ketika ia dikemas dalam balutan fantasi dan petualangan (hooks, 2003). Tak heran, banyak fans One Piece yang merasa cerita Fishman sangat menyentuh dan memicu diskusi soal keadilan sosial, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Siklus Kebencian: Balas Dendam, Trauma, dan Harapan

Diskriminasi dan rasialisme tidak hanya merugikan kelompok yang tertindas, tetapi juga menciptakan siklus kebencian yang sulit diputus. Di One Piece, sebagian Fishman yang mengalami kekerasan akhirnya membalas dengan kekerasan pula—mereka menaruh dendam kepada manusia. Tokoh seperti Hody Jones menjadi contoh ekstrem, di mana rasa sakit akibat diskriminasi berubah menjadi keinginan untuk membalas dengan kebencian yang sama.

Analisis sosiologi populer menyebut fenomena ini sebagai internalisasi trauma sosial. Korban diskriminasi bisa saja “menurunkan” trauma itu kepada generasi berikutnya, sehingga prasangka dan permusuhan terus diwariskan (Sue, 2010). Namun, Oda juga menampilkan sisi lain: harapan akan rekonsiliasi. Karakter seperti Jinbe memperjuangkan dialog, empati, dan perdamaian, menolak membalas kekerasan dengan kekerasan.

Mengapa Kisah Fishman Relevan untuk Kita?

Kenapa cerita manusia ikan di One Piece begitu relevan untuk kita, terutama generasi muda? Karena diskriminasi dan rasialisme bukan hanya urusan masa lalu, tetapi masalah kontemporer yang masih sering kita temui di sekitar. Kasus-kasus intoleransi, ujaran kebencian di media sosial, hingga diskriminasi berbasis SARA masih marak di banyak tempat, termasuk Indonesia.

Fishman mengajarkan bahwa diskriminasi dan rasialisme merusak tidak hanya korban, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kisah mereka adalah ajakan untuk keluar dari lingkaran prasangka, membangun empati, dan menolak segala bentuk ketidakadilan. Dalam bahasa sosiologi populer, fiksi seperti One Piece punya kekuatan besar untuk menggerakkan kesadaran dan aksi sosial (Bonilla-Silva, 2014; hooks, 2003).

Melawan Diskriminasi dan Rasialisme: Pesan Penting untuk Generasi Muda

Melalui cerita Fishman, One Piece menegaskan bahwa perubahan tidak akan datang jika hanya menunggu “pihak lain” untuk bertindak. Generasi muda adalah agen perubahan yang paling berpotensi melawan diskriminasi dan rasialisme, baik lewat pendidikan, dialog, maupun aksi nyata di dunia nyata.

Pesan ini sejalan dengan berbagai literatur sosiologi yang menyebutkan pentingnya peran individu dan komunitas dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif (Fredrickson, 2002; Sue, 2010). Kita semua bisa mulai dari hal-hal sederhana: belajar menghargai perbedaan, menolak ujaran kebencian, dan berani bersuara jika melihat ketidakadilan terjadi.

Pada akhirnya, cerita manusia ikan dalam One Piece hanyalah satu dari sekian banyak narasi yang mengangkat isu diskriminasi dan rasialisme. Namun, kekuatan cerita ini terletak pada kemampuannya untuk menyentuh hati dan mengajak berpikir, terutama bagi anak muda. Jika dunia One Piece saja berani mengkritik ketidakadilan, mengapa kita di dunia nyata masih ragu untuk berubah?

Daftar Pustaka

  1. Bonilla-Silva, E. (2014). Racism without racists: Color-blind racism and the persistence of racial inequality in America (4th ed.). Rowman & Littlefield.
  2. Fredrickson, G. M. (2002). Racism: A short history. Princeton University Press.
  3. hooks, bell. (2003). Teaching Community: A Pedagogy of Hope. Routledge.
  4. Oda, E. (2010-2012). One Piece [Manga Vol. 61-66]. Shueisha.
  5. Sue, D. W. (2010). Microaggressions in Everyday Life: Race, Gender, and Sexual Orientation. Wiley.
  6. Winant, H. (2001). The World is a Ghetto: Race and Democracy Since World War II. Basic Books.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Membongkar Cara Kerja Senter Pembesar dan Senter Pengecil!
29Aug

Membongkar Cara Kerja Senter Pembesar dan Senter Pengecil!

Bagaimana cara kerja Senter Pembesar dan Senter Pengecil Doraemon kalau kita bedah menggunakan perspektif sains (fiksi) ?

Bagaimana Cara Kerja Rasengan?
19Aug

Bagaimana Cara Kerja Rasengan?

Yuk, kita coba bedah bersama-sama, bagaimana cara kerja Rasengan dengan cara yang benar-benar baru!

Bagaimana Cara Kerja Pintu Kemana Saja?
19Aug

Bagaimana Cara Kerja Pintu Kemana Saja?

Nah, daripada cuma jadi angan-angan, yuk kita coba bedah dan bongkar konsep sains di balik cara kerja Pintu Kemana Saja Doraemon

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *