
Bayangkan, kamu baru lulus SMA dan bermimpi kuliah di universitas impian. Tapi biaya kuliah bagaikan tembok raksasa yang sulit ditembus. Sementara zaman sekarang kamu bisa buka campaign di GoFundMe atau Kitabisa, di tahun 1987 seorang anak muda bernama Mike Hayes punya ide gila: “Bagaimana kalau aku minta satu keping receh dari jutaan orang?” Kedengarannya mustahil? Tapi inilah kisah nyata yang membuktikan bahwa satu receh bisa mengubah masa depan seseorang.
Awal Mula: Ide Sederhana yang Menginspirasi Ribuan Orang
Mike Hayes adalah lulusan SMA Rochelle, Illinois, yang ingin kuliah di University of Illinois. Masalahnya, biaya kuliah empat tahun saat itu mencapai $28,000—jumlah yang sangat besar untuk keluarganya. Ayahnya seorang apoteker dan ibunya guru sekolah, sudah membiayai empat kakaknya hingga lulus. Mike sendiri hanya punya tabungan $2,500 dari hasil kerja paruh waktu di apotek.
Dalam keputusasaan, Mike terpikir ide sederhana namun radikal: “Kalau aku bisa mengajak 2,8 juta orang untuk mengirimkan satu penny saja, aku bisa kuliah!” Sebuah pemikiran yang sederhana, tetapi belum pernah dilakukan siapapun, apalagi di zaman tanpa internet atau media sosial.
Crowdfunding di Era Pra-Internet: Dari Kolom Koran ke Ribuan Donasi
Tahun 1987, istilah crowdfunding bahkan belum dikenal. Tidak ada GoFundMe, tidak ada Kickstarter, bahkan World Wide Web (WWW) pun baru dikembangkan setahun kemudian oleh Tim Berners-Lee (Berners-Lee, 1989). Tapi Mike menemukan “platform” masa itu: kolom populer di koran Chicago Tribune yang diasuh Bob Greene.
Mike pun menemui Greene dan menanyakan, “Berapa banyak orang yang baca kolommu? Jutaan, kan?” Ide ini menarik perhatian Greene yang akhirnya menulis kolom tentang Mike dan permintaannya—meminta satu penny dari setiap pembaca.
Tak disangka, ribuan orang benar-benar mengirimkan penny (dan kadang receh lebih besar) ke P.O. Box milik Mike. Bahkan biaya mengirim surat lebih mahal dari nilai penny itu sendiri, tapi orang tetap antusias. Dalam waktu singkat, sekitar 2,9 juta penny (sekitar $29,000) terkumpul dan 90.000 surat dukungan masuk ke alamat Mike.
Mengapa Kisah Mike Hayes Viral?
Ada banyak cerita soal kampanye unik yang viral, tapi kisah Mike Hayes tetap relevan hingga kini. Mengapa orang mau repot-repot kirim satu penny (sekitar Rp 150)? Salah satu alasannya adalah rasa kepedulian, keinginan untuk “ikut andil” dalam sebuah perubahan besar, meskipun kecil. Psikolog sosial menyebut fenomena ini sebagai diffusion of responsibility, di mana setiap orang merasa cukup dengan kontribusi kecil jika dilakukan bersama-sama (Darley & Latané, 1968).
Uniknya, sebelum era internet, viralitas tetap bisa terjadi lewat media massa dan word of mouth. Mike Hayes membuktikan kekuatan ide yang sederhana dan keinginan manusia untuk membantu sesama. Hal ini juga didukung riset-riset terkini yang menyebutkan, motivasi utama donatur pada crowdfunding pendidikan adalah solidaritas, empati, dan keinginan membangun masa depan generasi muda (Belleflamme, Lambert, & Schwienbacher, 2014; Choy & Schlagwein, 2016).
Evolusi Crowdfunding Pendidikan: Dari Surat ke Digital Platform
Sejak kisah Mike Hayes, dunia pendidikan dan penggalangan dana berubah drastis. Kini, platform digital seperti GoFundMe, Kickstarter, GiveCollege, bahkan Kitabisa di Indonesia, menawarkan peluang bagi ribuan mahasiswa untuk mengumpulkan dana pendidikan (Mollick, 2014). Platform ini mempertemukan kebutuhan dengan para donatur yang peduli.
Tak hanya lebih mudah, crowdfunding pendidikan kini juga lebih transparan dan aman. Calon donatur bisa melihat langsung siapa penerima, progress campaign, hingga testimoni. Tidak perlu lagi mengirim receh lewat pos, cukup klik, transfer, dan jadi bagian dari perubahan.
Inspirasi dari Mike Hayes: Satu Receh, Satu Perubahan
Kisah Mike Hayes membuktikan bahwa setiap kontribusi, sekecil apapun, punya arti besar. Ia tak hanya lulus dengan gelar Teknologi Pangan, tetapi juga meneruskan kebaikan dengan membantu mahasiswa lain yang membutuhkan dana. Di kampusnya, Mike dijuluki “Penny Man” dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Bagi generasi muda, kisah ini mengajarkan dua hal: pentingnya kreativitas dalam menghadapi masalah, dan kekuatan komunitas dalam mendukung perubahan. Hari ini, siapa pun bisa “be like Mike”, membuka campaign pendidikan tanpa harus viral di media massa, cukup dengan platform digital dan jaringan sosial.
Meskipun biaya kuliah semakin mahal, kemajuan teknologi dan semangat kolaborasi membuat pendidikan semakin inklusif. Kisah Mike Hayes adalah pengingat bahwa inovasi tidak selalu harus rumit—kadang justru dimulai dari ide paling sederhana, dan keberanian untuk mencobanya.
Daftar Pustaka
- Belleflamme, P., Lambert, T., & Schwienbacher, A. (2014). Crowdfunding: Tapping the right crowd. Journal of Business Venturing, 29(5), 585-609. https://doi.org/10.1016/j.jbusvent.2013.07.003
- Berners-Lee, T. (1989). Information Management: A Proposal. CERN.
- Choy, K., & Schlagwein, D. (2016). Crowdsourcing for a better world: On the relation between IT affordances and donor motivations in charitable crowdfunding. Information Technology & People, 29(1), 221-247. https://doi.org/10.1108/ITP-09-2014-0215
- Darley, J. M., & Latané, B. (1968). Bystander intervention in emergencies: Diffusion of responsibility. Journal of Personality and Social Psychology, 8(4p1), 377.
- Mollick, E. (2014). The dynamics of crowdfunding: An exploratory study. Journal of Business Venturing, 29(1), 1-16. https://doi.org/10.1016/j.jbusvent.2013.06.005
Demo Anarkis dan Politik Kuasa Media
Kok bisa, demo yang awalnya damai buat menyuarakan pendapat, malah berujung anarkis dan merusak fasilitas umum? Luapan amarah, atau ada faktor lain?
Penyebab Demonstrasi Rusuh: Amarah, Provokasi, atau Propaganda?
Kok bisa demo yang awalnya damai jadi serusak ini? Apakah ini amarah massa? Atau ada “sutradara” tak terlihat? Yuk, kita bedah penyebab demonstrasi rusuh ini.
Brutalitas Polisi: Kenapa Masih Terjadi?
Kenapa brutalitas polisi seolah menjadi siklus yang sulit diputus di negeri ini? Apakah ini hanya soal “oknum” nakal, atau ada sesuatu yang lebih dalam?