
Menghadapi perubahan iklim yang semakin tidak terduga, informasi cuaca dan iklim bukan lagi sekadar data, melainkan jadi dasar penting bagi keberhasilan sektor pertanian. Untuk itu, Direktorat Pelindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan – Kementerian Pertanian, menyusun Laporan Agroklimat Subsektor Perkebunan Edisi Maret 2025. Dokumen ini berbasis data dan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dan disusun untuk membantu petani, penyuluh, pelaku usaha, dan pengambil kebijakan dalam menyiapkan langkah adaptif menghadapi dinamika iklim ke depan.
Sorotan Utama Laporan Agroklimat:
- Kondisi ENSO & IOD Netral, Stabilkan Pola Iklim Nasional
Monitoring hingga dasarian III Maret 2025 menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam fase ENSO Netral (0.013) dan IOD Netral (0.85). Kondisi ini diperkirakan akan bertahan hingga September 2025. Artinya, tidak ada indikasi gangguan iklim global besar seperti El Niño atau La Niña, yang berdampak positif bagi kelancaran musim tanam dan panen. - Curah Hujan & Musim Kemarau: Transisi Dimulai
Curah hujan pada Maret 2025 mayoritas berada pada kategori menengah (36%) hingga tinggi (60%), dengan sifat hujan dominan normal hingga atas normal. Namun, tanda-tanda awal kemarau mulai muncul di wilayah seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Papua Barat. BMKG memprediksi transisi menuju musim kemarau akan berlangsung antara April–Juni 2025, dengan puncak pada bulan Agustus. - Peringatan Dini: Potensi Kekeringan dan Curah Hujan Tinggi Masih Terkendali
Hingga awal April 2025, belum ada peringatan dini kekeringan maupun banjir berskala besar. Namun beberapa wilayah seperti Aceh, Jawa Tengah, dan Kalimantan mulai masuk dalam kategori waspada terhadap curah hujan tinggi. Monitoring HTH (Hari Tanpa Hujan) menunjukkan durasi kering masih tergolong pendek (1–10 hari), kecuali beberapa titik di Sulawesi Selatan. - Tingkat Ketersediaan Air Tanah: Cukup hingga Sangat Cukup
Berdasarkan analisis neraca air metode Thornthwaite & Mather, tingkat kelembapan tanah selama April–Juni 2025 berada di rentang 60–100%, mendukung optimalisasi pertumbuhan tanaman. Tidak ditemukan wilayah dengan defisit air tanah signifikan. - Prediksi Titik Panas & Risiko Kebakaran Lahan
Wilayah-wilayah seperti pesisir Riau, NTB bagian timur, dan Banyuwangi diprediksi memiliki indeks kesesuaian iklim tinggi terhadap potensi kebakaran hutan/lahan (karhutla) pada bulan Juli 2025. Edukasi masyarakat dan kesiapsiagaan pemadaman perlu ditingkatkan, terutama di daerah dengan vegetasi kering dan aktivitas pembukaan lahan. - Sorotan Khusus: Bambu sebagai Solusi Restorasi dan Mitigasi Iklim
Laporan ini juga memuat kajian tentang potensi bambu sebagai tanaman multifungsi dalam konservasi air, perbaikan lahan, dan penyerap karbon. Dengan sistem akar kuat dan pertumbuhan cepat, bambu dinilai cocok untuk integrasi dalam agroforestri dan peningkatan produktivitas lahan perkebunan yang terdampak degradasi.
Mengapa penting membaca laporan ini?
Karena keputusan budidaya berbasis data iklim tidak hanya menjaga produktivitas, tetapi juga memperkuat ketahanan sektor perkebunan menghadapi risiko iklim jangka panjang.
📥 Unduh dan baca laporan lengkapnya di tautan berikut:
👉 Klik di sini untuk mengakses dokumen lengkap Laporan Agroklimat Maret 2025
Tanaman Makin Gendut, Nutrisi Makin Kering: Dampak Kenaikan CO2 pada Makanan Kita!
Inilah sebuah ironi senyap yang sedang terjadi di piring makan kita, sebuah konsekuensi tersembunyi dari kenaikan CO2 yang sering kita bicarakan
Rumput Laut untuk Sapi: Solusi Cerdas Mengurangi Emisi Metana dan Menjaga Bumi
Rumput laut kini menjadi harapan baru untuk mengurangi emisi metana sapi secara drastis.
Selamat Tinggal, Tuvalu? Negara yang Terancam Tenggelam Akibat Perubahan Iklim
Sebuah negara kepulauan indah di Pasifik ini berada di ambang sejarah sebagai bangsa pertama di dunia yang harus merencanakan migrasi massal warganya. Penyebab utamanya? Perubahan iklim
2 Responses