Krisis air Kabul ini cerminan dan peringatan keras tentang masa depan yang mungkin kita hadapi jika abai terhadap isu air dan iklim.
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Kota Kabul, Afghanistan (https://unsplash.com/@mohammadhu1)

Bayangin deh, kamu tinggal di sebuah kota besar yang ramai, tapi buat dapat air bersih saja susahnya minta ampun. Mau nyalain keran, airnya nggak ngalir. Sekalinya ngalir, cuma beberapa jam dalam seminggu. Mau minum, harus beli air galon yang harganya makin hari makin mencekik leher. Ini bukan adegan di film fiksi ilmiah pasca-kiamat, lho. Ini adalah kenyataan pahit yang sedang dihadapi oleh sekitar 6 juta penduduk di Kabul, ibu kota Afghanistan. Kota ini berada di ambang batas menjadi ibu kota modern pertama di dunia yang benar-benar kehabisan pasokan airnya. Kisah krisis air Kabul ini lebih dari sekadar berita sedih dari negeri yang jauh; ini adalah cerminan dan peringatan keras tentang masa depan yang mungkin kita hadapi jika abai terhadap isu air dan iklim.

Kenapa Krisis Air Kabul Bisa Separah Ini?

Krisis air Kabul bukanlah bencana yang datang tiba-tiba. Ini adalah akumulasi masalah yang sudah berlangsung puluhan tahun, seperti bola salju yang terus membesar. Ada beberapa faktor utama yang jadi biang keladinya. Pertama, dan yang paling signifikan, adalah perubahan iklim. Kabul dan wilayah sekitarnya sangat bergantung pada lelehan salju dari Pegunungan Hindu Kush yang megah sebagai sumber utama untuk mengisi kembali akuifer (cadangan air tanah) mereka. Sayangnya, perubahan iklim membuat musim dingin jadi lebih pendek dan curah salju berkurang drastis. Akibatnya, “tabungan” air alami mereka terus menipis setiap tahun.

Di sisi lain, populasi kota ini meledak secara dramatis. Coba bayangkan, dari yang tadinya dihuni kurang dari 1 juta orang pada tahun 2001, sekarang Kabul menjadi rumah bagi sekitar 6 juta penduduk. Ledakan populasi ini tentu saja meningkatkan permintaan air secara gila-gilaan. Kebutuhan air untuk minum, mandi, industri, dan pertanian melonjak, sementara pasokan dari alam justru menyusut. Kombinasi maut antara pasokan yang berkurang dan permintaan yang meroket inilah yang menjadi resep sempurna bagi bencana kekeringan yang kita saksikan hari ini.

Sumur Bor Ilegal dan Infrastruktur yang ‘Sakit’

Ketika pasokan air dari pemerintah tak bisa diandalkan, warga pun mencari solusi sendiri. Sekitar 90% penduduk Kabul bergantung pada sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air harian mereka. Masalahnya, praktik ini sama sekali tidak terkendali. Ada lebih dari 120.000 sumur bor ilegal yang menyedot air tanah di kota ini. Analogi sederhananya, bayangkan akuifer itu seperti segelas besar es teh. Normalnya, kita minum pelan-pelan sambil menunggu es batunya mencair dan menambah isi gelas. Tapi yang terjadi di Kabul, semua orang menyedotnya dengan sedotan besar secara bersamaan, membuat isi gelas habis dua kali lebih cepat daripada kemampuan es untuk mencair.

Parahnya lagi, infrastruktur air bersih yang ada pun jauh dari kata layak. Meskipun bantuan internasional bernilai miliaran dolar pernah digelontorkan, hanya sekitar 20% rumah tangga di Kabul yang terhubung dengan jaringan pipa air terpusat. Itupun, alirannya seringkali mati. Proyek-proyek vital seperti bendungan dan instalasi pengolahan air banyak yang mangkrak atau beroperasi di bawah kapasitas karena salah urus, kurangnya pemeliharaan, dan masalah pendanaan. Krisis air Kabul ini pada akhirnya adalah sebuah potret kegagalan tata kelola, perencanaan infrastruktur, dan regulasi air yang serius.

Bukan Cuma Kering, Airnya Juga Tercemar

Masalahnya ternyata tidak berhenti pada kuantitas air yang menipis. Kualitas air yang tersisa pun sangat mengkhawatirkan. Sebuah laporan menyebutkan bahwa sekitar 80% air tanah di Kabul sudah terkontaminasi limbah, racun, dan bahan kimia berbahaya. Kok bisa? Mayoritas warga masih menggunakan toilet model lubang galian sederhana, yang memungkinkan kotoran manusia meresap langsung ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Selain itu, banyak pabrik yang juga membuang limbah industrinya langsung ke sungai.

Air yang terkontaminasi ini tentu membawa dampak buruk bagi kesehatan, terutama meningkatkan risiko penyakit bagi anak-anak dan lansia. Akibatnya, warga yang punya uang lebih terpaksa membeli air kemasan atau air yang telah dimurnikan untuk minum, yang harganya terus melambung tinggi. Situasi ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan masalah kesehatan. Warga harus mengeluarkan 15-30% dari pendapatan bulanan mereka hanya untuk membeli air , bahkan banyak yang sampai harus berutang. Ini adalah PR besar yang menunjukkan betapa krusialnya sanitasi dan pengelolaan limbah yang layak.

Pelajaran dari Krisis Air Kabul: Cermin untuk Masa Depan Kita

Kisah miris dari krisis air Kabul ini bukanlah sekadar isu lokal. Ini adalah sebuah realitas yang bisa terjadi di kota-kota besar lain di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena serupa pernah mengancam Cape Town di Afrika Selatan dengan isu “Day Zero” beberapa tahun lalu. Pola masalahnya mirip: perubahan iklim yang tak terduga, pertumbuhan populasi yang cepat, infrastruktur yang menua, dan tata kelola air yang kurang sigap. Kabul menjadi alarm pengingat yang sangat keras bagi kita semua.

Pelajaran terpenting dari krisis air Kabul adalah bahwa air bukanlah sumber daya yang tak terbatas. Kita harus mulai mengubah cara pandang dan perilaku kita terhadap air. Pemerintah perlu berinvestasi serius pada modernisasi infrastruktur air dan sanitasi, membuat regulasi yang ketat terkait pengeboran air tanah, dan yang terpenting, menyusun rencana adaptasi perubahan iklim yang konkret. Bagi kita sebagai individu, menghemat air dalam setiap aktivitas sehari-hari mungkin terdengar sepele, tapi jika dilakukan secara kolektif, dampaknya akan sangat besar. Jangan sampai kita baru sadar betapa berharganya air ketika keran di rumah kita sudah tak bisa lagi mengalirkan setetes pun.

Daftar Pustaka

  • Akhter, S. H., & Ahmad, S. (2021). Water crisis in Kabul: causes, consequences, and viable solutions. Environmental Science and Pollution Research, 28(33), 44463–44477.
  • Mercy Corps. (2025). Kabul’s Water Crisis: An Inflection Point for Action. Crisis Analysis Report.

Suka dengan tulisan di WartaCendekia? Kamu bisa dukung kami via SAWERIA. Dukunganmu akan jadi “bahan bakar” untuk server, riset, dan ide-ide baru. Visi kami sederhana: bikin sains, sejarah, dan humaniora terasa dekat dan seru untuk semua. Terima kasih, semoga kebaikanmu kembali berlipat.


Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Rumput Laut untuk Sapi: Solusi Cerdas Mengurangi Emisi Metana dan Menjaga Bumi
11Aug

Rumput Laut untuk Sapi: Solusi Cerdas Mengurangi Emisi Metana dan Menjaga Bumi

Rumput laut kini menjadi harapan baru untuk mengurangi emisi metana sapi secara drastis.

Nyanyian Sunyi di Lautan: Misteri Paus Biru yang Lebih Diam dan Peringatan untuk Kita
11Aug

Nyanyian Sunyi di Lautan: Misteri Paus Biru yang Lebih Diam dan Peringatan untuk Kita

Orkestra laut dalam ini perlahan meredup, dan fenomena paus biru lebih diam ini ternyata menyimpan pesan penting tentang kesehatan planet kita, dan juga tentang kita.

Melihat Lebih Dekat Krisis Air Kabul: Penyebab, Dampak, dan Pelajaran untuk Indonesia
10Aug

Melihat Lebih Dekat Krisis Air Kabul: Penyebab, Dampak, dan Pelajaran untuk Indonesia

Krisis air Kabul ini cerminan dan peringatan keras tentang masa depan yang mungkin kita hadapi jika abai terhadap isu air dan iklim.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *