
Bayangkan kamu berada di tengah samudra yang luas, di mana satu-satunya suara adalah deburan ombak. Tapi di bawah sana, di kedalaman yang gelap, ada sebuah “orkestra” raksasa yang sedang berlangsung. Para paus biru, makhluk terbesar yang pernah ada di Bumi, saling berkomunikasi lewat nyanyian dengan frekuensi rendah yang begitu kuat hingga bisa merambat ratusan kilometer. Nyanyian ini bukan sekadar suara, melainkan bagian penting dari kehidupan mereka untuk mencari pasangan dan bersosialisasi. Namun, para ilmuwan baru-baru ini mendengar sesuatu yang mengkhawatirkan: keheningan. Orkestra laut dalam ini perlahan meredup, dan fenomena paus biru lebih diam ini ternyata menyimpan pesan penting tentang kesehatan planet kita, dan juga tentang kita.
Daftar Isi
Orkestra Lautan yang Perlahan Redup
Selama bertahun-tahun, para peneliti menggunakan mikrofon bawah air super canggih yang disebut hydrophone untuk “menguping” kehidupan di laut. Salah satu hydrophone ini terpasang di lepas pantai California, membentang sepanjang 52 kilometer di dasar laut dan terus merekam suara lautan tanpa henti. Dari rekaman inilah para ilmuwan, seperti yang dilaporkan dalam studi besar yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, menemukan sebuah tren yang ganjil. Selama periode penelitian enam tahun, mereka menyadari bahwa nyanyian paus biru, bersama dengan paus sirip (fin whale) dan paus bungkuk (humpback whale), menunjukkan pola yang aneh. Terutama pada paus biru, nyanyian mereka menjadi jauh lebih jarang terdengar.
Fenomena paus biru lebih diam ini bukan hanya terjadi di satu tempat. Peneliti di perairan Selandia Baru juga menemukan hal yang sama persis. Paus biru di sana, yang seharusnya ramai “bernyanyi”, mendadak menjadi sunyi selama periode gelombang panas laut yang ekstrem. Ini bukan berarti pausnya menghilang. Mereka masih ada di sana, tetapi mereka memilih untuk tidak bernyanyi. Tentu saja ini memicu pertanyaan besar: kenapa para raksasa lautan ini tiba-tiba membisu? Apa yang sedang terjadi di rumah mereka hingga membuat mereka enggan “berbicara”?
Saat Perut Keroncongan, Siapa yang Mau Bernyanyi?
Nah, setelah diusut, biang keladinya ternyata cukup sederhana: makanan. Coba bayangkan, kalau kamu sedang lapar berat, apakah kamu akan bersemangat untuk bernyanyi atau bersosialisasi? Tentu tidak. Energi yang ada pasti akan kamu fokuskan untuk mencari makanan. Ternyata, logika yang sama juga berlaku untuk paus biru. Nyanyian paus, terutama yang berkaitan dengan ritual kawin, membutuhkan energi yang sangat besar. Ketika sumber makanan mereka menipis, mereka harus bekerja ekstra keras hanya untuk bertahan hidup. Energi yang seharusnya dipakai untuk “bernyanyi” terpaksa dialihkan untuk berburu.
Studi oleh Ryan dkk. (2025) secara spesifik mengaitkan perubahan perilaku ini dengan ketersediaan makanan mereka. Makanan utama paus biru adalah makhluk super kecil mirip udang yang disebut krill. Paus biru bisa melahap jutaan krill dalam sekali makan. Masalahnya, populasi krill ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu air laut. Ketika lautan menghangat secara drastis, populasi krill anjlok. Akibatnya, paus biru harus menjelajah lebih jauh dan menyelam lebih dalam hanya untuk menemukan makanan yang cukup. Dalam kondisi “puasa” seperti ini, bernyanyi untuk mencari pasangan menjadi prioritas terakhir.
Gelombang Panas Laut dan Efek Domino yang Mengancam Paus Biru
Sekarang, mari kita bicara tentang penyebab utama kelangkaan krill: gelombang panas laut atau marine heatwave. Salah satu yang paling terkenal adalah fenomena “The Blob” yang terjadi di Pasifik Utara antara tahun 2013 hingga 2016. “The Blob” adalah sebutan untuk area air laut super hangat yang ukurannya luar biasa besar. Suhu air di beberapa tempat naik hingga 4,5°F (sekitar 2,5°C) dari biasanya. Kenaikan suhu ini mungkin terdengar sepele bagi kita, tapi bagi ekosistem laut, ini adalah bencana. Gelombang panas ini menciptakan efek domino yang mengerikan.
Dimulai dari dasar rantai makanan, suhu hangat mengganggu pertumbuhan fitoplankton, makanan utama krill. Ketika fitoplankton berkurang, krill pun kelaparan dan populasinya menurun drastis. Akibatnya, para predator di puncak rantai makanan seperti paus biru ikut terkena imbasnya. Fenomena paus biru lebih diam adalah salah satu dampak paling nyata dari efek domino ini. Selain itu, gelombang panas juga memicu mekarnya alga beracun yang bisa meracuni mamalia laut, termasuk paus, yang semakin memperburuk kondisi mereka.
Kenapa Fenomena Paus Biru yang Lebih Diam Penting Bagi Kita?
Mungkin kamu berpikir, “Oke, kasihan paus biru. Tapi apa hubungannya denganku?” Jawabannya: sangat berhubungan. Paus biru adalah ecosystem sentinels, atau bisa kita sebut sebagai penjaga atau indikator kesehatan ekosistem. Mereka berada di puncak rantai makanan dan sangat sensitif terhadap perubahan sekecil apa pun di lingkungan mereka. Jadi, ketika para paus biru lebih diam karena kelaparan, itu adalah alarm darurat yang sangat keras bagi kita semua. Itu adalah tanda bahwa lautan, sumber kehidupan utama di planet ini, sedang tidak baik-baik saja.
Lautan menyerap lebih dari 90% kelebihan panas akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Gelombang panas laut yang semakin sering dan intens adalah bukti nyata dari pemanasan global. Ketika lautan sakit, dampaknya akan terasa oleh kita semua, mulai dari cuaca ekstrem, terganggunya sumber makanan laut yang kita konsumsi, hingga perubahan iklim yang semakin tak terkendali. Nyanyian sunyi paus biru adalah gema dari masalah yang lebih besar. Mendengarkan keheningan mereka berarti kita harus segera bertindak untuk menjaga kesehatan lautan, yang pada akhirnya adalah menjaga masa depan kita sendiri.
Daftar Pustaka
- Di Lorenzo, E., & Mantua, N. (2016). Multi-year persistence of the 2014/15 North Pacific marine heatwave. Nature Climate Change, 6(11), 1042–1047. https://doi.org/10.1038/nclimate3082
- Hazen, E. L., Abrahms, B., Brodie, S., Carroll, G., Jacox, M. G., Savoca, M. S., … & Bograd, S. J. (2019). Marine top predators as climate and ecosystem sentinels. Frontiers in Ecology and the Environment, 17(10), 565-574. https://doi.org/10.1002/fee.2125
- Oleson, E. M., Calambokidis, J., Burgess, W. C., McDonald, M. A., & Hildebrand, J. A. (2007). Behavioral context of call production by eastern North Pacific blue whales. Marine Ecology Progress Series, 330, 269-284. https://doi.org/10.3354/meps330269
- Ryan, J. P., Oestreich, W. K., Benoit-Bird, K. J., Waluk, C. M., Rueda, C. A., Cline, D. E., … & Goldbogen, J. A. (2025). Audible changes in marine trophic ecology: Baleen whale song tracks foraging conditions in the eastern North Pacific. PLOS ONE, 20(2), e0318624. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0318624
- Santora, J. A., Mantua, N. J., Schroeder, I. D., Field, J. C., Hazen, E. L., Bograd, S. J., … & Wells, B. K. (2020). Habitat compression and ecosystem shifts as potential links between marine heatwave and record whale entanglements. Nature Communications, 11(1), 536. https://doi.org/10.1038/s41467-019-14215-w
Suka dengan tulisan di WartaCendekia? Kamu bisa dukung kami via SAWERIA. Dukunganmu akan jadi “bahan bakar” untuk server, riset, dan ide-ide baru. Visi kami sederhana: bikin ilmu pengetahuan terasa dekat dan seru untuk semua. Terima kasih, semoga kebaikanmu kembali berlipat.
Terungkap! Begini Hipotesis Cara Kerja Lightsaber Star Wars Menurut Sains
Mari jelajahi cara kerja Lightsaber yang mungkin akan membuatmu melihat duel Luke Skywalker dan Darth Vader dengan cara yang benar-benar baru
Tanaman Makin Gendut, Nutrisi Makin Kering: Dampak Kenaikan CO2 pada Makanan Kita!
Inilah sebuah ironi senyap yang sedang terjadi di piring makan kita, sebuah konsekuensi tersembunyi dari kenaikan CO2 yang sering kita bicarakan
Rumput Laut untuk Sapi: Solusi Cerdas Mengurangi Emisi Metana dan Menjaga Bumi
Rumput laut kini menjadi harapan baru untuk mengurangi emisi metana sapi secara drastis.
One Response