
Pernahkah kamu membayangkan, saat menikmati sepotong steik yang lezat atau segelas susu segar, ada “biaya” tak terlihat yang harus dibayar oleh planet kita? Bukan, ini bukan soal harga di menu. Ini soal gas metana, sebuah gas rumah kaca yang dilepaskan oleh para sapi. Uniknya, sebagian besar—atau lebih tepatnya 97 persen—gas metana ini tidak datang dari kentut, melainkan dari sendawa mereka! Fakta mengejutkan ini membuka sebuah masalah besar terkait perubahan iklim, namun di saat yang sama, juga membuka pintu bagi para ilmuwan untuk menemukan solusi yang tak kalah mengejutkan: rumput laut. Ya, kamu tidak salah baca. Rumput laut kini menjadi harapan baru untuk mengurangi emisi metana sapi secara drastis.
Daftar Isi
Sapi, Sendawa, dan Jejak Karbon di Piring Kita
Mungkin terdengar sepele, tapi sendawa dari jutaan sapi di seluruh dunia punya dampak yang sangat besar. Sektor peternakan menyumbang sekitar 14,5% dari total emisi gas rumah kaca global yang disebabkan oleh manusia. Angka ini setara dengan emisi dari seluruh mobil, truk, pesawat, dan kapal di dunia jika digabungkan. Biang keladinya adalah metana (CH4), gas yang 28 kali lebih kuat dalam memerangkap panas di atmosfer dibandingkan karbon dioksida (CO2) dalam skala waktu 100 tahun.
Metana ini terbentuk secara alami di dalam salah satu lambung sapi yang disebut rumen. Di sana, mikroba-mikroba super kecil membantu sapi mencerna serat dari rumput yang mereka makan. Namun, proses pencernaan ini menghasilkan produk sampingan berupa gas hidrogen dan karbon dioksida. Sekelompok mikroba lain yang disebut metanogen kemudian “memakan” produk sampingan ini dan mengubahnya menjadi metana. Metana ini kemudian dikeluarkan oleh sapi, sebagian besar melalui sendawa. Karena dampak pemanasan globalnya yang kuat, para ahli sepakat bahwa upaya untuk mengurangi emisi metana sapi bisa menjadi salah satu cara tercepat untuk memperlambat laju perubahan iklim.
Membongkar Rahasia Rumput Laut: Kok Bisa Bikin Sapi Jadi Ramah Lingkungan?
Di tengah tantangan ini, muncullah seorang “pahlawan” dari dasar laut: sejenis rumput laut merah bernama Asparagopsis taxiformis. Rumput laut ini bukan sembarang rumput laut. Ia mengandung senyawa aktif bernama bromoform, yang ternyata sangat efektif untuk mengganggu “pabrik” metana di dalam perut sapi. Cara kerjanya cukup cerdas. Bromoform ini menghambat enzim kunci yang digunakan oleh mikroba metanogen pada tahap akhir pembentukan metana. Akibatnya, produksi metana di dalam rumen pun menurun drastis.
Hasilnya luar biasa. Penelitian awal pada sapi di peternakan penggemukan (feedlot) menunjukkan bahwa penambahan sedikit saja rumput laut ke dalam pakan mereka mampu memangkas emisi metana hingga 82 persen. Studi terbaru yang lebih menantang—karena dilakukan pada sapi yang digembalakan di padang rumput—juga menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), para peneliti menemukan bahwa memberikan pelet rumput laut kepada sapi-sapi yang merumput bebas dapat mengurangi emisi metana mereka hingga hampir 40 persen.
Dari Laboratorium ke Padang Rumput
Untuk memastikan solusi ini benar-benar praktis, para ilmuwan melakukan uji coba di kondisi peternakan yang sesungguhnya. Mereka memilih 24 sapi persilangan Wagyu dan Angus yang digembalakan di sebuah peternakan di Montana, AS. Sapi-sapi ini dibagi menjadi dua kelompok: satu kelompok mendapatkan pakan biasa, dan kelompok lainnya mendapatkan pakan yang sama ditambah suplemen rumput laut dalam bentuk pelet. Eksperimen ini berlangsung selama 10 minggu, di mana para peneliti secara rutin mengukur gas yang dikeluarkan sapi menggunakan alat khusus bernama GreenFeed.
Salah satu temuan terpenting dari studi ini adalah suplemen tersebut tidak memengaruhi kesehatan atau berat badan sapi. Ini adalah kabar baik bagi para peternak, karena artinya mereka bisa menerapkan solusi ini tanpa khawatir akan mengorbankan produktivitas ternak mereka. Fakta bahwa penelitian ini dilakukan pada sapi yang merumput di padang rumput juga sangat relevan, mengingat sebagian besar sapi di dunia menghabiskan hidupnya di lahan penggembalaan, bukan di kandang penggemukan. Ini menunjukkan bahwa rumput laut punya potensi besar untuk diterapkan secara luas di berbagai sistem peternakan.
Menuju Masa Depan Peternakan Rendah Emisi
Tentu saja, jalan untuk menjadikan rumput laut sebagai pakan standar bagi semua sapi di dunia masih panjang. Ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah soal biaya dan skalabilitas. Membudidayakan rumput laut Asparagopsis dalam jumlah yang masif untuk memenuhi kebutuhan industri peternakan global adalah sebuah pekerjaan besar yang memerlukan inovasi dan investasi. Selain itu, ada juga isu palatabilitas atau rasa. Beberapa penelitian mencatat bahwa sapi perlu sedikit waktu untuk terbiasa dengan rasa dari pakan yang mengandung rumput laut.
Meskipun demikian, penemuan ini memberikan secercah harapan yang cerah. Ini adalah langkah maju yang signifikan dalam upaya menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan. Dengan riset lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi budidaya rumput laut, menekan biaya produksi, serta dukungan kebijakan dari pemerintah, bukan tidak mungkin pakan ternak inovatif ini menjadi solusi umum di masa depan. Pada akhirnya, upaya mengurangi emisi metana sapi dengan rumput laut bukan hanya soal menyelamatkan iklim, tapi juga tentang bagaimana kita bisa terus memproduksi makanan secara lebih cerdas dan selaras dengan alam.
Daftar Pustaka
- Gerber, P. J., Steinfeld, H., Henderson, B., Mottet, A., Opio, C., Dijkman, J., Falcucci, A., & Tempio, G. (2013). Tackling climate change through livestock: A global assessment of emissions and mitigation opportunities. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO).
- Meo-Filho, P., Ramirez-Agudelo, J. F., & Kebreab, E. (2024). Mitigating methane emissions in grazing beef cattle with a seaweed-based feed additive: Implications for climate-smart agriculture. Proceedings of the National Academy of Sciences, 121(50), e2410863121. https://doi.org/10.1073/pnas.2410863121
- Roque, B. M., Venegas, M., Kinley, R. D., de Nys, R., Duarte, T. L., Yang, X., & Kebreab, E. (2021). Red seaweed (Asparagopsis taxiformis) supplementation reduces enteric methane by over 80 percent in beef steers. PLOS ONE, 16(3), e0247820. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0247820
- UNEP & CCAC. (2021). Global Methane Assessment: Benefits and Costs of Mitigating Methane Emissions. United Nations Environment Programme and Climate and Clean Air Coalition. Nairobi.
Suka dengan tulisan di WartaCendekia? Kamu bisa dukung kami via SAWERIA. Dukunganmu akan jadi “bahan bakar” untuk server, riset, dan ide-ide baru. Visi kami sederhana: bikin ilmu pengetahuan terasa dekat dan seru untuk semua. Terima kasih, semoga kebaikanmu kembali berlipat.
Demo Anarkis dan Politik Kuasa Media
Kok bisa, demo yang awalnya damai buat menyuarakan pendapat, malah berujung anarkis dan merusak fasilitas umum? Luapan amarah, atau ada faktor lain?
Penyebab Demonstrasi Rusuh: Amarah, Provokasi, atau Propaganda?
Kok bisa demo yang awalnya damai jadi serusak ini? Apakah ini amarah massa? Atau ada “sutradara” tak terlihat? Yuk, kita bedah penyebab demonstrasi rusuh ini.
Brutalitas Polisi: Kenapa Masih Terjadi?
Kenapa brutalitas polisi seolah menjadi siklus yang sulit diputus di negeri ini? Apakah ini hanya soal “oknum” nakal, atau ada sesuatu yang lebih dalam?
2 Responses